Senjakala industri media konvensional kini bukan lagi sekadar kiasan muram, melainkan realitas yang terpampang nyata di hadapan kita. Surat kabar besar mengurangi tirasnya, stasiun televisi berjuang mempertahankan rating di tengah gempuran konten digital yang tak berkesudahan, dan ruang redaksi mengalami perampingan masif.
Gelombang disrupsi teknologi telah mengubah bukan hanya cara kita mengonsumsi berita, tetapi juga fundamental ekonomi yang menopang institusi pers. Pertanyaan besarnya bukan lagi apakah media akan berubah, melainkan bagaimana pers yang selama ini menjadi pilar demokrasi dapat bertahan ketika fondasi keuangannya perlahan runtuh.
Penyebab utama dari 'senjakala' ini adalah pergeseran drastis dalam model pendapatan. Dahulu, media berdiri kokoh di atas dua kaki: iklan dan langganan. Namun, kedatangan raksasa teknologi seperti Google dan Meta telah menyedot hampir seluruh kue iklan digital, meninggalkan remah-remah bagi penerbit konten asli. Audiens, yang terbiasa mendapatkan informasi gratis dari media sosial dan agregator berita, menjadi enggan membayar, memaksa media untuk terjebak dalam perangkap clickbait dan kuantitas demi mengejar tayangan iklan yang semakin murah. Siklus yang merusak ini pada akhirnya mengorbankan kualitas dan kedalaman liputan.
Konsekuensi langsung dari krisis finansial ini terlihat jelas pada kualitas jurnalisme itu sendiri. Ketika sumber daya berkurang, ruang redaksi tidak mampu lagi membiayai investigasi mendalam yang mahal dan berisiko, yang merupakan inti dari fungsi pengawasan pers. Media terpaksa beralih dari pelaporan yang berorientasi publik (public-interest journalism) menjadi jurnalisme yang berorientasi pasar (market-driven journalism), di mana kecepatan dan sensasi lebih diutamakan daripada akurasi dan konteks. Inilah ironi terbesar: di era banjir informasi, kita justru menghadapi kekeringan pada jurnalisme yang kredibel dan berdampak.
Namun, keputusasaan bukanlah jawaban. Sejumlah kecil perusahaan media berhasil menemukan celah keberlanjutan melalui inovasi radikal, seperti menerapkan model langganan digital yang ketat, diversifikasi pendapatan melalui acara (event) atau layanan konsultasi data, dan yang terpenting, berinvestasi pada jurnalisme ceruk yang memberikan nilai unik. Jalan ke depan menuntut keberanian untuk meninggalkan ketergantungan pada iklan massal dan secara tegas memilih untuk melayani pembaca yang bersedia membayar untuk kualitas, bukan sekadar volume.
Dengan demikian, senjakala ini harus dipandang bukan sebagai akhir, melainkan sebagai proses pemurnian yang menyakitkan. Industri media dituntut untuk kembali pada nilai hakiki: kepercayaan dan relevansi. Hanya dengan membangun kembali ikatan emosional dan intelektual dengan audiens, serta membuktikan bahwa informasi yang dihasilkan memiliki nilai yang sepadan dengan biayanya baik dalam bentuk waktu maupun uang maka pilar keempat demokrasi ini akan mampu menegakkan kepalanya kembali. Editorial ini akan mengupas lebih dalam langkah-langkah strategis yang harus diambil media lokal dan nasional untuk memastikan terbitnya fajar baru.
Berikut catatan Dewan Pers dari para ahli tentang Senjakala Industri Media:
I. Lonceng Kematian dan Pengakuan Pahit
Peristiwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang menerpa belasan perusahaan media besar di Indonesia pada paruh tengah tahun 2025-mulai dari Kompas TV, TV One, NET TV, hingga grup media cetak raksasa yang merintis pers di negeri ini bukanlah sekadar siklus bisnis biasa. Ini adalah manifestasi paling brutal dari krisis eksistensial yang melanda industri pers nasional.
PHK, yang dikemas rapi sebagai program 'efisiensi atau 'pensiun dini, sejatinya adalah lonceng kematian yang menyuarakan pengakuan pahit: model bisnis media yang kita kenal telah usai.
Senjakala media ini adalah hasil dari sebuah kontradiksi: Di satu sisi, kebutuhan publik akan informasi berkualitas, akurat, dan terverifikasi semakin mendesak di tengah banjir informasi; di sisi lain, sumber daya ekonomi untuk membiayai produksi informasi berkualitas (jurnalisme) tersebut telah dirampas, disalurkan, dan dimonopoli oleh entitas asing yang tidak terikat pada tanggung jawab sosial atau regulasi pers lokal.
Krisis ini berakar pada tiga wajah ancaman utama yang beroperasi secara simultan: Ceki-kan Algoritma yang mengontrol distribusi, Amputasi Al yang mengkonsumsi konten sebagai bahan mentah, dan Monopoli Iklan Programatik yang mengeringkan dana kehidupan pers. Pertanyaannya bukan lagi 'siapa yang bertahan', tetapi bagaimana kita menyelamatkan jurnalisme sebagai pilar keempat demokrasi di tengah kegagalan pasar yang nyata.
II. Disrupsi Digital dan Kegagalan Pasar yang Eksponensial
Ketika teknologi digital datang, ia menjanjikan perluasan ruang kebebasan dan efisiensi. Media berbondong-bondong bermigrasi dari platform cetak ke daring, meyakini bahwa jangkauan audiens yang luas akan sejalan dengan pendapatan yang melimpah. Nyatanya, migrasi tersebut adalah sebuah lorong gelap tiada berujung' dimana traffic tinggi tidak lagi berkorelasi linear dengan revenue yang berkelanjutan.
1. Monopoli Iklan Programatik yang Pincang
Analisis ekonomi media menunjukkan bahwa inti dari krisis pendanaan terletak pada struktur pasar iklan digital. Data-data industri se-cara konsisten mengisyaratkan bahwa 75 hingga 80 persen dari total belanja iklan digital nasional dikuasai secara eksklusif oleh dua raksasa platform global: Google dan Meta.
Ini adalah perampokan ekonomi yang terjadi secara terstruktur. Media lokal, yang berinvestasi besar pada newsroom, membayar gaji wartawan, patuh pada Kode Etik Jurnalistik, diatur ketat oleh UU Pers, serta membayar pajak di Indonesia, harus bersaing memperebutkan sisa kue 20-25 persen. Sementara itu, platform global beroperasi nyaris tanpa batas regulasi, mengambil konten jurnalistik, memanen data audiens media, dan memindahkan keuntungan (profit) ke luar negeri melalui skema pajak yang kompleks.
Dominasi mereka diperkuat oleh praktik Programmatic Advertising dan Integrasi Vertikal. Dalam sistem Programatik, setiap impresi dihitung sama. Hal ini meniadakan insentif bagi pengiklan untuk memprioritaskan media yang memproduksi konten berkualitas tinggi (jurnalisme investigasi, laporan mendalam) dibandingkan media yang menghasilkan clickbait instan demi mengejar volume traffic. Monopoli ini menciptakan hambatan masuk yang tidak terhindarkan bagi penerbit (publisher) kecil dan lokal, yang akhirnya mempercepat PHK dan penutupan unit usaha.
2. Wajah Retak Media dan Hilangnya Trust
Tekanan ekonomi ini memaksa media nasional menunjukkan "wajah retak-nya. Demi bertahan, mereka terjebak dalam perang traffic yang merusak esensi jurnalisme itu sendiri. Jurnalisme yang seharusnya bertugas melayani publik dengan trust dan fakta kini dipaksa melayani algoritma dengan sensasi dan kecepatan. Ketika media gulung tikar satu per satu, ruang publik kita diisi oleh informasi yang tidak terverifikasi, bias algoritma, dan kepentingan platform. Apabila pasar gagal menopang jurnalisme sebagai public good, maka yang terancam adalah kualitas demokrasi itu sendiri.
III. Amputasi Al dan Kebijakan yang Tertinggal
Ancaman terbaru datang dari kecerdasan buatan (AI) Generatif. Al kini mampu memproses, meringkas, dan bahkan mengambil konten jurnalistik yang adalah hasil jerih payah wartawan untuk dilatih dan didistribusikan secara otomatis.
Dalam banyak kasus, Al telah berhasil 'memakan' berita sebelum manusia sempat membacanya di situs penerbit, secara efektif memutus jalur traffic yang tersisa.
Jurnalisme, yang adalah karya intelektual berbasis fakta, ironisnya tidak mendapatkan perlindungan ekonomi yang memadai di Indonesia. Akar masalah ini terletak pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
1. Dilema Pasal 43 dan Hak Ekonomi Berita
Pasal 43 UU Hak Cipta secara eksplisit menyatakan bahwa pengambilan berita faktual tanpa izin untuk tujuan pemberitaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta. Pengecualian ini, yang mungkin dimaksudkan untuk mendukung kebebasan informasi, kini menjadi bumerang yang melanggengkan eksploitasi.
Jurnalisme (berita) bukanlah sekedar rangkaian fakta, melainkan produk yang melibatkan proses pengumpulan, verifikasi, penyuntingan, dan pertanggungjawaban etis. Proses ini berbiaya tinggi. Dengan tidak adanya perlindungan hak ekonomi atas berita, platform bebas mengambil data ini tanpa kompensasi finansial, sementara media menanggung seluruh biaya produksi.
Ini adalah ketidakadilan yang harus dihentikan. Berita harus ditetapkan sebagai karya cipta yang dilindungi hak ekonomi-nya, setidaknya untuk jangka waktu terbatas, agar platform digital yang menggunakannya untuk revenue mereka (baik distribusi maupun 'makanan' AI) wajib membayar royalti yang adil.
2. Solusi Regulasi: Amandemen UU Hak Cipta dan Protokol Jakarta
Momen revisi UU Hak Cipta dan inisiasi Protokol Jakarta (sebuah usulan untuk menarik royalti dari platform global melalui mekanisme internasional seperti WIPO) harus dimanfaatkan secara maksimal. Amandemen UU Hak Cipta menjadi prasyarat hukum yang kuat bagi Komite Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital (KTP2JB) yang dibentuk berdasarkan Perpres 32/2024. Tanpa amandemen ini, KTP-2JB hanya akan menjadi 'macan ompong' dalam menghadapi raksasa teknologi.
Protokol Jakarta, yang dibawa oleh Indonesia ke forum internasional, adalah langkah strategis untuk menekan platform global yang terbiasa beroperasi di ruang hampa regulasi. Dengan dukungan global, kita dapat menciptakan standar yang mengharuskan kompensasi yang adil bagi media berita yang secara fundamental menyediakan data dan informasi bagi ekosistem digital mereka.
IV. Jurnalisme sebagai 'Public Good' dan Peran Wajib Negara
Di tengah kegagalan pasar, diskursus mengenai intervensi negara untuk menjamin keberlanjutan jurnalisme menjadi relevan dan urgen. Jurnalisme yang berkualitas harus dipandang sebagai public good-sama pentingnya dengan pendidikan, keamanan, dan kesehatan yang tidak boleh diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar komersial.
1. Dana Jurnalisme yang Independen
Pemerintah dinilai memiliki sumber daya ekonomi paling besar untuk turun tangan. Na-mun, intervensi ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak mengorbankan independensi pers yang telah diperjuangkan sejak reformasi. Intervensi harus bermakna positif: bukan subsidi politik, melainkan mekanisme untuk menjaga kualitas dan keberlanjutan.
Pembentukan Dana Jurnalisme melalui kolaborasi antara Pemerintah dan komunitas pers adalah salah satu opsi terdepan. Dana ini harus didesain sebagai dana abadi atau dana bergulir yang independen (tidak bergantung pada APBN tahunan), dikelola oleh Dewan Pers atau lembaga independen yang terpisah dari kekuasaan eksekutif. Tujuannya adalah mendukung jurnalisme publik, laporan investigasi, dan media lokal yang berorientasi layanan, bukan sekadar menyelamatkan korporasi media dari kebangkrutan.
2. Tugas Mulia: Membersihkan Selokan Setiap Hari
Seperti yang dituturkan oleh keluarga Atmakusumah Astraatmadja, salah satu pejuang kemerdekaan pers, menjaga kebebasan pers itu seperti membersihkan selokan di depan rumah kita setiap hari. Kita tidak bisa membuat undang-undang lalu berharap semua akan beres. Setiap hari akan ada sampah, setiap saat akan ada tekanan. Hanya ada satu cara: kita bersihkan selokan itu terus-menerus agar tidak terjadi banjir atau agar kita tidak hidup dalam kegelapan informasi.
V. Epilog: Menuju Fajar atau Kegelapan Total?
Gelombang PHK 2025 adalah puncak gunung es dari tekanan ekonomi yang telah menumpuk sejak satu dekade terakhir. Media arus utama dituntut untuk menjadi realistis dan berinovasi: melakukan diversifikasi pendapatan di luar iklan (seperti konsultasi, event, atau subscription), dan fokus menjual keahlian, bukan sekadar traffic. Namun, realisme bisnis tidak boleh menjadi alasan untuk mengorbankan trust dan fungsi jurnalisme.
Kata-kata legendaris dari Katharine Graham, pemilik The Washington Post, patut di-ulang: "We can't hold them accountable if we don't have a newspaper." Kita tidak bisa meminta pertanggungjawaban kekuasaan (akuntabilitas) jika perusahaan media massa kita bangkrut satu per satu.
Maka, sudah saatnya semua pemangku kepentingan, dari Presiden, parlemen, regulator persaingan usaha, hingga komunitas pers, berkolaborasi. Amandemen UU Hak Cipta dan penegakan aturan persaingan usaha di ranah digital adalah langkah mendesak untuk memastikan adanya ekosistem media yang adil dan sehat.
"Senjakala" adalah masa transisi. Kita memiliki pilihan: membiarkan matahari terbenam sepenuhnya, menyerahkan ruang publik pada monopoli algoritma dan kegelapan informasi; atau kita bertindak tegas sekarang, memastikan bahwa di tengah cekikan kapitalisme platform, jurnalisme sebagai public good dapat diselamatkan dan mencapai fajar baru.
*) Yogi Hadi Ismanto, Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi, Dewan Pers periode 2025-2028
JURNAL DEWAN PERS-OKTOBER 2025

Posting Komentar