🔴 BREAKING NEWS: Operasi Zebra Rinjani 2025 POLRES BIMA Dimulai Tanggal 17 S/d 30 November 2025. Jadilah pelopor keselamatan berlalu lintas, Wujudkan Kamseltibcarlantas yang aman nyaman dan Selamat.

Banjir Cokelat Bima: Air Mata di Lembah, Untung di Lereng


EDITORIAL.- Di lembah, waktu seakan berhenti dan berganti warna menjadi cokelat pekat. Sebuah lukisan kesedihan terpampang nyata. Ada puing-puing rumah yang terpelanting, tersapu bersih atau terkubur setengah tiang oleh lumpur yang menggurita. 

Di antara puing, para ibu berjuang menyelamatkan sisa-sisa perkakas kehidupan, sementara para bapak hanya mampu berdiri bagai patung di tepi sawah mereka yang telah berubah menjadi kubangan luas. Hanya satu jam amukan langit telah cukup untuk menghapus seluruh hasil keringat bertahun-tahun, mengubah tempat tinggal menjadi kuburan massal kenangan.

Namun, naiklah sedikit ke lereng bukit, maka kita akan menyaksikan sebuah pengkhianatan yang sedang tumbuh subur. Di sana, di atas penderitaan lembah, hamparan jagung berdiri tegak dan hijau, bagai kesatria yang tak tersentuh malapetaka. 

Tampak tak bersalah, padahal setiap batangnya yang berdesakan adalah simbol kemakmuran semu, sebuah ladang yang makmur justru dengan mengorbankan nyawa di bawahnya. Ini adalah ekonomi yang memakan anaknya sendiri, di mana setiap tetes hujan yang menyuburkan akar jagung di ketinggian, akan berubah menjadi air bah dan lumpur pemusnah bagi saudara-saudaranya sendiri di lembah.

Banjir bandang di Bima telah lama melampaui statusnya sebagai fenomena alam. Ia adalah bencana ekologis hasil rekayasa manusia; sebuah tragedi modern di mana kemakmuran di ketinggian harus dibayar dengan air mata dan kesengsaraan di lembah.

Siklus Merusak yang Terbukti Ilmiah

Akar masalah Bima terletak pada degradasi lahan hulu yang berlangsung massif. Laporan ilmiah Wiwit Bayu Adi dan Agum Muladi (2022) membongkar siklus merusak ini: 57.599 hektare lahan di Bima telah masuk kategori kritis, dengan alih fungsi hutan menjadi ladang jagung sebagai pemicu utamanya.

Sementara itu, WALHI NTB mencatat angka yang lebih mencengangkan: sekitar 167.000 hektare hutan di Bima telah rusak atau berubah fungsi, setara dengan 75% luas kawasan hutannya. Direktur WALHI NTB, Murdani, menegaskan bahwa ekspansi jagung adalah “biang kerok” banjir bandang yang berulang. Ini bukan sekadar asumsi, melainkan kesimpulan berdasarkan data tutupan lahan dan tren kerusakan tahunan.

Data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) NTB juga sejalan, menempatkan Kabupaten Bima sebagai salah satu wilayah dengan beban degradasi tertinggi di provinsi, dengan 15.790 hektare lahan kritis.

Kerusakan ini diperparah oleh metode keliru: pembakaran lahan, pengolahan tanah di lereng curam, dan monokultur jagung yang menyisakan tanah terbuka saat hujan tiba. Tanah pun kehilangan fungsinya sebagai spons raksasa. Air tidak lagi meresap, dan erosi membawa lumpur cokelat yang menyumbat sungai-sungai. Dalam laporan 2024, Ahyar dkk. bahkan mengungkap bahwa kawasan lindung seperti Blok Kawae telah terfragmentasi menjadi lahan pertanian dan semak, sehingga kehilangan kemampuan konservasi airnya.

Ketimpangan Ekologis: Siapa Untung, Siapa Bunga?

Para pembela ekspansi jagung berargumen bahwa komoditas ini menggerakkan ekonomi lokal. Memang, jagung adalah primadona pasar. Namun, pertanyaannya,  siapa yang menikmati keuntungannya, dan siapa yang membayar ongkosnya?

Data menunjukkan sekitar 30.000 hektare perbukitan di Bima–Dompu telah diubah menjadi ladang jagung dalam satu dekade terakhir. Namun, warga di hilir seperti di Wera, Bolo, Woha, dan lainnya hingga Kota Bima bukanlah penerima manfaatnya.

Saat banjir bandang melanda Wera di awal 2025, 256 hektare lahan pertanian rusak dengan kerugian langsung mencapai Rp 1,25 miliar. Namun, tak sepeser pun kompensasi mengalir dari rantai nilai jagung yang kaya di hulu. “Kami hanya menerima air bah setiap tahun, bukan keuntungan jagung,” keluh seorang petani Wera, menggambarkan ketidakadilan yang paling nyata.

Inilah lakon ketimpangan yang sesungguhnya: pundi-pundi keuntungan menggunung di gudang-gudang terpencil, Sementara getirnya banjir dan lumpur harus ditenggak hingga tandas oleh khalayak di lembah, yang tak pernah ikut menanam bibitnya.

Kelalaian yang Terstruktur dan Pemerintah yang Reaktif

Pemerintah tidak bisa terus menyalahkan cuaca ekstrem. Persoalan di Bima khususnya, bukan sekadar kurang hutan, Melainkan hilangnya daya dukung ekologis secara sistematis.

Peraturan Gubernur NTB Nomor 23/2021 tentang Perlindungan Hutan Lindung memang ada, tetapi implementasinya lemah. Pengawasan terhadap perambahan minim, dan penegakan hukum terhadap pembukaan hutan ilegal nyaris tidak terdengar.

Peneliti M. Yahya (2024) menyimpulkan bahwa “kerusakan hutan di Pulau Sumbawa, termasuk Bima, bersifat sistemik dan tidak diimbangi dengan penegakan hukum yang kuat.” Setiap tahun, pemerintah tampil reaktif dengan bantuan sembako, tetapi membiarkan akar persoalan tak tersentuh. Ibaratnya, kita hanya menutup luka terbuka dengan plester kecil—tampak baik sesaat, tetapi sama sekali tidak menyembuhkan.

Peta Jalan Menyelamatkan Bima dari Banjir

Sudah cukup air mata yang menggenang di lembah. Sudah cukup pula keuntungan yang dinikmati segelintir orang dengan mengorbankan ribuan jiwa. Inilah sekiranya langkah konkret yang harus diambil :
  1. Moratorium Total: Hentikan seluruh pembukaan lahan baru di kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Bima. Ini bukan pilihan, melainkan keharusan ekologis.
  2. Rehabilitasi Serius dengan Tanaman Keras: Rehabilitasi hulu membutuhkan komitmen dana. DLHK NTB memperkirakan biaya sekitar Rp 8 juta per hektare. Namun, ongkos ini jauh lebih murah dibandingkan kerugian ekonomi dan sosial akibat banjir tahunan.
  3. Penegakan Hukum Tanpa Toleransi: Pemerintah harus berani menindak tegas perusak hutan, baik individu maupun korporasi. Tanpa ini, segala rencana hanyalah narasi kosong.
Alternatif Ekonomi Ramah Lereng: Agroforestri, tanaman keras bernilai ekonomi seperti kemiri, kopi, dan alpukat, serta sistem tumpang sari berkelanjutan harus menjadi prioritas. Jagung tidak boleh lagi menjadi satu-satunya "jawaban" ekonomi.

Cermin Pilihan Kita

Banjir cokelat Bima adalah cermin yang jujur. Ia memantulkan pilihan kolektif kita: melindungi kemakmuran semu di lereng, atau menjamin keselamatan nyata di lembah.

Pertanyaannya bukan lagi tentang siapa yang salah, tetapi tentang warisan seperti apa yang ingin kita tinggalkan: sejarah kelam bencana yang diproduksi sendiri, atau babak baru ketangguhan ekologis?

Waktu tidak menunggu. Setiap tetes hujan yang jatuh di lereng gundul adalah pengingat bahwa jeda kita telah habis. Jika tidak bertindak sekarang, maka air mata di lembah akan terus menjadi soundtrack abadi bagi keserakahan di lereng.

Print Friendly and PDF

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama