EDITORIAL.- Ada sebuah metafora lama yang sering beredar di desa-desa pesisir: “orang yang berdiri di atas dua perahu akhirnya tercebur ke laut”. Metafora itu, tanpa kita sadari, kini sedang mewakili keadaan energi Indonesia. Di satu sisi, pemerintah mendorong transisi menuju energi hijau dengan memperbanyak pembangkit terbarukan, memberi insentif kendaraan listrik, membangun ekosistem industri baterai. Namun di sisi lain, negara masih memelihara subsidi energi fosil dalam porsi yang begitu besar hingga menyerupai jangkar yang menahan kapal agar tak bergerak.
Kita berbicara lantang mengenai keberlanjutan, tetapi anggaran negara justru mengalir deras menuju masa lalu. Kita ingin mencapai langit hijau, tetapi kaki terus terpaku di dermaga minyak dan gas. Negeri ini seperti seseorang yang menatap cakrawala tetapi masih menggenggam karung pasir.
Dan ongkos untuk mempertahankan posisi genting ini sungguh fantastis. APBN 2025 mengalokasikan Rp 203,41 triliun untuk subsidi energi. Angka yang membayangi belanja vital lain seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Lebih memprihatinkan lagi, studi bertahun-tahun konsisten menunjukkan bahwa 60–70% manfaat subsidi BBM justru dinikmati oleh kelompok menengah ke atas. Inilah wujud nyata dari "dua perahu" itu: dana ratusan triliun rupiah, yang seharusnya menjadi pelampung bagi yang tenggelam, justru menjadi dayung baru bagi mereka yang sudah memiliki perahu.
Di tengah derasnya aliran dana ke masa lalu, transisi energi kita tersendat bagai perahu kecil yang melawan arus. Potensi energi terbarukan Indonesia begitu perkasa, namun realisasinya memalukan. Lahan bekas tambang menyimpan potensi energi surya 59,45 GW, tetapi yang terwujud baru sekitar 600 MW, kurang dari 1%. Negeri yang disinari matahari sepanjang tahun ini justru lebih memilih memompa subsidi ke dalam tangki BBM, seakan-akan masa depan rendah karbon hanyalah lukisan di cakrawala yang tak pernah bisa disentuh.
Akar masalahnya bukanlah teknis, melainkan politis. Subsidi energi telah menjadi "hantu keramat" yang ditakuti setiap pemimpin. Tidak ada yang berani menanggung risiko amarah sosial dari koreksi harga yang sebenarnya perlu. Akibatnya, kita terjebak dalam permainan lama: mengorbankan masa depan yang berkelanjutan untuk meredam gejolak jangka pendek.
Namun, transisi energi bukanlah sekadar pergantian sumber daya. Ini adalah pergeseran peradaban yang menuntut imajinasi politik dan keberanian budaya. Karena itu, restorasi subsidi adalah sebuah keharusan. Subsidi tidak perlu dihapus, tetapi harus direformasi: dialihkan dari menyubsidi konsumsi energi fosil yang boros, menjadi mendorong produksi dan akses terhadap energi hijau.
Kita perlu keberanian untuk:
- Memastikan subsidi tepat sasaran dengan teknologi digital, mengubahnya menjadi bantuan sosial yang cerdas bagi yang benar-benar membutuhkan.
- Mengalihkan anggaran raksasa itu untuk membangun ekosistem energi hijau: dari bus listrik hingga panel surya di atap rumah.
- Meluncurkan proyek percontohan skala besar, mengubah lahan bekas tambang yang tandus menjadi ladang pembangkit surya, membuktikan bahwa masa depan itu mungkin.
Transisi energi adalah pelayaran panjang, bukan wisata sehari. Kita tidak bisa selamanya berlabuh di dermaga yang nyaman sambil berharap suatu saat nanti akan tiba di tujuan. Kapal harus berlayar. Nahkoda harus memutar kemudi.
Di ujung pelayaran ini, pertanyaan paling mendasar menggantung: Apakah kita berani menyeberangi lautan subsidi yang gelisah ini, untuk mencapai langit hijau di seberang?
Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang hanya mengambil jalan mudah, melainkan bangsa yang berani memilih jalan yang benar untuk generasi mendatang. Indonesia memiliki kesempatan emas untuk mengubah arah sejarah energinya. Jika kesempatan ini kita lewatkan, penyesalan kita bukan lagi soal APBN yang defisit, melainkan soal bumi yang tak lagi sanggup kita wariskan.
Sebab, pada akhirnya, pertaruhan ini bukan tentang angka-angka di atas kertas. Ini tentang warisan. Tentang pilihan antara mengukir masa depan dengan asap knalpot, atau dengan cahaya matahari.

Posting Komentar